balik layar

Photo Workshop : CISV di Baliwoso by anggara mahendra

Saat berbagi ilmu, kita tidak pernah berkurang, tapi bertambah.

Audiens workshop foto “Mau Cerita Apa?” bersama Ang di Baliwoso.
Foto: Kristina Komala

Buat saya, fotografi hanya satu bagian dari cara bercerita.

Tentang keresahan diri, cara pandang kita akan sesuatu, isu sosial, permasalahan disekitar kita dan apa saja.

Media visual punya kekuatan lebih untuk memperhalus permasalahan, sehingga bisa diterima oleh audiens yang lebih luas.

Perspektif personal kita di visual akhirnya dilihat menjadi karya, bukan hanya celotehan semata yang sering menjadi alasan untuk debat kusir tanpa hasil.

Suasana workshop singkat bersama CISV di Baliwoso pada 17 Desember 2022.

Foto: Kristina Komala

Materi yang saat itu saya bawakan sebenarnya sederhana saja.

Sekilas tentang arah cahaya.
Sekilas tentang komposisi dan garis imajiner pada visual.

Sekilas tentang alasan memotret, ‘mau cerita apa?’

Semua ini termasuk ‘basic’ dalam teknis, melihat, berpikir akan konteks dan perspektif.

Tapi dasar ini fundamental!
Seringkali kita terlalu cepat berproses diantara dunia modern ini, ingin hasil instan dan melupakan dasar.

Tanpa dasar yang kuat, berkarya pun jadi kurang kuat.

Membagi 30-an peserta menjadi grup. Kemudian berdiskusi dan presentasi tentang cerita yang ingin disampaikan.
Foto: Kristina Komala

Memilih dan berdiskusi tentang foto yang akan dipresentasikan.
Foto: Anggara Mahendra

1 jam saya berbagi tentang bagaimana cara bercerita dengan visual. Sesi ini diselingi dengan tanya jawab atau diskusi ketika ada pertanyaan yang terlintas.

Sesi berbagi dilanjutkan dengan praktek memotret.
Memotret apa saja yang mereka suka.

Biasanya saya selalu berbagi tentang membuat premis; satu kalimat ide, agar cerita mudah disampaikan dan memotret pun lebih fokus pada cerita.
Tapi kali ini saya lupa karena keasikan diskusi tentang karya bersama para peserta.

Menariknya, saat presentasi mereka bercerita dengan terstruktur.
1 kalimat idenya jelas dan mereka bisa memaknai visual dengan perspektif mereka.

Grup 2 : Kesunyian dalam perjalanan

Sekilas hanya foto pemandangan dengan jembatan biasa.
”Apa yang menarik?”, tanya saya dalam hati

Grup 2 bercerita tentang perjalanan yang dipenuhi banyak hal dan rintangan. Tapi jika kita tetap berjuang, pasti akan menemukan jalan atau titik terang yang menyenangkan.

Perjuangan dan rintangan mereka simbolkan pada jembatan dan sampah daun.

Kemudian hasil perjalanan menuju titik terang ada pada ujung jembatan yang secara teknis foto lebih terang. Posisinya pun berada di tengah dan komposisi garis mengarahkan kita pada titik itu.

”Saya terinspirasi Kak Anggara waktu cerita tentang garis imajiner”, ujar Grup 2 saat memilih menggunakan komposisi seperti ini.

Grup 5: Unreached Goals

Secara komposisi, foto ini sangat baik.

Fokus utama jelas, pada bola yang seakan ingin ditendang menuju gawang.

Grup 5 memaknai bola pada foto ini sebagai dirinya sendiri yang ingin melanjutkan perjalanan menuju tujuannya. Tapi perjalanan ini menemui rintangan yang disimbolkan pada kiper yang menghalanginya mencapai tujuan, yaitu gawang.

Terima kasih ya untuk para peserta yang sudah menginspirasi saya dan Kris yang bertugas berbagi pengalaman disana.

Senang bisa berbagi dan sama-sama terinspirasi.

Sampai jumpa di lain kesempatan ya!

Materi presentasi saya bisa didownload via link ini. Semoga bisa berguna
https://bit.ly/20221217mauceritaapa

Hasil karya semua grup peserta

Everyday Laksmi by anggara mahendra

Laksmi Deneefe

Putri Indonesia Bali 2022

8 tahun bersekolah di Australia dan Italia, lalu Laksmi kembali ke rumahnya di Bali.

Laksmi kembali terkoneksi dengan alam, masyarakat, budaya dan ritual yang juga adalah akar dari dirinya.

Hari ini warga banjar datang ke rumah Laksmi untuk menyiapkan sarana upacara kematian nenek.

Secara psikologis, pada acara kematian ada satu anggota keluarga yang meninggalkan kita dan ada kekosongan dalam rumah.

Kekosongan ini sementara diisi oleh warga yang secara bergantian datang ke rumah duka untuk menemani hingga upacara Ngaben tiba sehingga mengurangi suasana duka dari keluarga.

Ritual apapun yang berhubungan dengan kehidupan sampai kematian dikerjakan secara komunal di Bali.

Catatan Visual - Arah Cahaya by anggara mahendra

“Motret gitu aja gampang, tinggal jepret-jepret!”

Sering dengar yang seperti ini?

Untuk orang awam, cara si penutur visual ini bergerak seperti ‘effortless’.

Seperti mudah saja bergerak sedikit lalu memotret dan dapat foto yang diinginkan.
Cara ini seakan-akan mudah ditiru begitu saja kalau dilihat langsung.

Tapi didalam kepala si perekam cahaya ada materi tentang komposisi, arah datang cahaya, observasi gerakan dan mempelajari momen apa yang penting untuk direkam, juga menarik dinikmati secara visual.

Misalnya foto dibawah ini.

Di momen ini ada Cok Toris, teman pengrajin bambu dari Blahbatuh yang sedang mengerjakan detail interior di rumah bambu.

Cahaya frontal dari depan dan semua terlihat terang.
Fotonya diambil dengan baik, tapi menurut saya kurang dramatis.
Datar saja!

Cahaya frontal dari depan.

Cahaya frontal dari depan.

Tak puas dengan yang ‘baik’ saja, saya bergeser ke kiri mencari kemungkinan tipe cahaya.

Akhirnya dapat momen dengan cahaya yang jauh lebih dramatis.

Semua ini didapat dengan sedikit kerja keras, menggeser posisi memotret.

Cahaya dramatis bisa terjadi jika ada gradasi antara gelap dan terang sehingga foto terlihat lebih berdimensi dan menarik secara visual.

Gradasi cahaya ini semakin menegaskan bentuk.

Entah bentuk bambu yang semakin terlihat dimensinya, manusia dengan lekuk tubuhnya, dan unsur-unsur lainnya pada visual.

Dengan tipe cahaya samping seperti ini akhirnya saya memutuskan untuk memotret lebih dekat pada detail apa yang Cok Toris kerjakan.
Cahaya ini membuat bagian tajam pisau semakin tegas, lengkungan bambu luar lebih terlihat.

Semua ini hanya karena cahaya.

Mempelajari arah datangnya cahaya adalah satu bagian dari dasar fotografi.

Meski di zaman modern ini semua bisa dilakukan dengan instan dan alat yang sangat mendukung, tapi dasar yang kuat sangat diperlukan untuk penugasan foto dimanapun dan kapanpun.


Catatan visual, 7 Juli 2021.

Anggara Mahendra

Balik Layar Satu Foto by anggara mahendra

Dalam 1 foto ada banyak “kenapa” dibalik otak fotografer

Kenapa foto seperti ini dibuat?

Kenapa harus dengan lensa itu?
Kenapa di momen itu?

Kenapa di cahaya itu?

Kenapa harus dengan elemen gambar itu?

Kenapa tanpa bokeh?

Kenapa ekspresi saat itu?

Kenapa gesturnya harus itu?

Kenapa harus warna dan latar itu?

Kenapa harus gelap/terang dieditnya?

Kita coba bahas satu foto karya:

Teknis :Fuji Xpro2 /  Fujinon 23mm f2  / shutter speed 500 / diafragma 10 / ISO 400 / available light / 14:39 PM - WITA / Desa Les, Tejakula, Bali UtaraSeorang laki-laki menekuk daun kelapa untuk dijadikan atap tradisional.

Teknis :

Fuji Xpro2 / Fujinon 23mm f2 / shutter speed 500 / diafragma 10 / ISO 400 / available light / 14:39 PM - WITA / Desa Les, Tejakula, Bali Utara

Seorang laki-laki menekuk daun kelapa untuk dijadikan atap tradisional.

Beberapa jawaban yang bisa dirangkum dari Kenapa.

  1. Kenapa foto seperti ini dibuat?

    Saya ingin menampilkan sosok warga desa yang beraktifitas ekonomi di desanya dengan informasi yang cukup padat. Sosoknya terlihat jelas dari ujung kepala hingga kaki untuk menunjukkan profil yang tersirat kelas ekonominya dengan tipe profesi demikian.

  2. Kenapa harus dengan lensa itu?

    23mm ini ekuivalen dengan 35mm di full frame yang menurut saya jadi seperti replika bagaimana mata kita melihat. lensanya tidak terlalu lebar dan tidak terlalu dekat sehingga menurut saya pas.

  3. Kenapa di momen itu?

    Ada daun di kanan yang kebetulan dipegang oleh orang lain. Saya tak menampilkan sosoknya karena hanya perlu tekstur dari daunnya yang ketika digabung dengan yang dipegang bapak ini, mereka seakan-akan memberikan garis imajiner yang menjadi bentuk baru dalam frame foto secara keseluruhan. Seperti ada huruf X dari elemen daun.

  4. Kenapa di cahaya itu?

    Penugasan di lapangan, waktu yang singkat. Saya memotret dengan tipe cahaya apapun. Cari keindahan dalam setiap momen dan elemen yang ada. Tak harus cahaya super bagus dari sunrise atau sunset. Membangun cerita bisa dengan apa saja.

  5. Kenapa harus dengan elemen gambar itu?

    Penekanan cerita. Si bapak bekerja membuat atap dari daun kelapa. Jadi elemen yang harus ada ya subyek (si bapak) dengan gestur yang tepat (melipat daun) dan daun itu sendiri. Bisa saja daun dibawah tanpa tambahan daun di sebelah kanan. Tapi daun di kanan justru jadi penyeimbang frame foto. Kiri sudah penuh dan kanan kurang tekstur yang nantinya bisa membuat mata kita justru fokus ke ruang yang kosong. Ini gak bagus karena foto jadi nggak utuh. Kebetulan ada warga lain yang memegang daun di kanan (tanpa settingan dari saya) dan saya foto saja untuk memenuhi ruang kosong dan memberi tekstur.

  6. Kenapa tanpa bokeh?

    Foto bagus tak harus penuh dengan blur yang terkesan cantik dan rapi. Saya suka memasukkan banyak elemen pada foto. Elemen-elemen ini seperti menjadi penanda zaman. Entah baju, latar belakang, sandal, dan lain-lain. Banyak detail kecil yang bisa jadi bahan penelitian jika dibedah secara rinci.

  7. Kenapa ekspresi saat itu?

    Ada ekspresi senyum, dan tertawa ketika saya menghampiri meereka. Tapi saya ingin ekspresi senatural mereka ketika bekerja. Saya tunggu dan akhirnya mereka lelah senyum dan tertawa. Mereka cuek dan kembali ke ekspresi awal ketika bekerja.

  8. Kenapa gesturnya harus itu?

    Saya selalu memerhatikan gestur. Hal ini krusial, tergantung dari cerita apa yang ingin saya bangun. Di foto ini saya hanya ingin menceritakan bagaimana warga desa melipat satu per satu daun kelapa untuk dijadikan atap. Ya saya observasi bagaimana gesturnya lalu jepret rana ketika gestur mereka sudah benar.

  9. Kenapa harus warna dan latar itu?

    Latar belakang sederhana dan tidak membuat mata bingung. Ada latar belakang dan warna-warna lain kalau saya bergeser. Misalnya ada warna merah, dan hijau alam tapi terlalu rumit! Saya sudah banyak memasukkan elemen rumit seperti daun pisang, jadinya saya cari kontras dengan latar sederhana agar pembaca bisa lebih mudah memahami dan menikmati foto.

  10. Kenapa harus gelap/terang dieditnya?

    Ini soal rasa dan selera saja. Satu foto bisa dibuat moodnya dengan lebih terang atau gelap pada foto.

Dalam 1 foto ada sekian banyak pemikiran ini yang berjalan sebelum dan saat saya memencet tombol rana.

“Ah gampang, tinggal jeprat-jepret saja!”



Salam dari Balik Layar

#catatanvisual